Kamis, 22 April 2010

PUITISITAS KEHIDUPANKU





Awal aku berpijak tiada yang menyesalkan. Dari langkah pertama aku tuturkan apa yang hendak aku jalani, setiap langkah aku hiasa dengan canda tawa dan kepercayaan. Sampai timbul masalah yang membuat suatu kesalahpahaman. Awal kepercayaan telah kuberikan, namun tak setulus itu yang aku dapatkan kini seakan wajah yang suram telah menatapku dengan penuh ketidak puasan. Aku mencoba untuk tetap wajar dalam berjalan, tapi langkah ini terasa berat saat kepercayaanku telah dhargai dengan sebuah argument yang salah kaprah. Kini mungkin takkan bisa seperti dulu lagi yang penuh dengan kehangatan. Kkkini yang tersisa hanya sebuah jiwa yang terkadang menangis ditengah keramaian.

Entah apa sebabnya?

Entah apa yang diperbuat?

Sekalian malam telah berhenti, dari singgasana sang mentari aku mencoba bertanya, benarkah jalan ini? Saat aku mulai bosan dengan celoteh anak emas dari bingkai sang kaisar. Kala aku terbangun aku terpuruk. Lalu siapa yang akan mengangkatku., bangun dari arah kepedihan jiwaku. Sedang air mata tak terhenti oleh luapan emosi. Aku duduk ditengah keadaan yang serba salah. Aku berdiri dikala musuh terbujur kaku tunduk dihadapan, dan aku duduk disaat musuh tegar dalam kekuatan yang membara. Sedang pedang telah menghunus di ujung nadiku melayangkan setengah dari sebagian jiwaku yang masih singah dalam ragaku. Lalu patutkah aku berjuang bila pedang itu telah menyayat semangat dan keperkasaanku. Kini ku telah lumpuh dihadapan para musuhku.

Nasib telah memeperjuangkan takdirnya, keadaan telah pasrah oleh kuasanya. Sedang naluri tak lagi singgah, seperti halnya lampu yang tak lagi berpijak pada terang. Waktu mengisahkan jiwaku yan tertinggal oleh rasa. Terbawa oleh pengaruh dari kekuatan cinta. Aku telah berpikir dalam kesadaran. Tapi pikiranku telah tenggelam dalam keterpurukan. Kini hanya sisa fatamorgana yang menyimpan sebait pengaruh puitis dalam ucapanku. Sesal abadi merasuki apa yang dikatakan oleh kalbu.

Kisah terakhir aku lalui, ditengah itu aku hampir mati dalam jiwa yang semu. Pengharapan hanya sebentuk ilusi dari ketergantunganku pada sosok ini. Dia ada Karena imajinasi, dia bicara karena lisan puitis sang pujangga. Dia mendengar dari bisikan alunan nada yang sepi. Raga telah menepi dari persingahan kesadaran. Kini dia pergi untuk naluri yang semu. Menghilang ditengah abadi kisah yang tak sebenarnya, kisah yang ada dicerita album para raja terdahulu.

Sepi adalah semboyan dari kehidupanku. Menghindari ketergantungan akan keramaian. Kisah romantis tak pernah mewujudkan apa yang dunia katakan, karena kenyataanlah yang akan membuka wujud kesempurnaan dalam hal romansah kehidupan. Terakhir hanya satu yang terucap, “Aku ingin hidup” aku ingin hidup bila senja tiada lagi menghilang. Aku ingin hidup bila air mengalir dari muara yang tenang. Aku ingin hidup didalam keadaan yang menawarkan harum bunga keistimewaan. Aku ingin hidup di tengah argument yang tulus, terhindar dari kesalahpahaman. Dan aku ingin hidup untuk hidup dari hidup kepada hidup.

Cari Blog Ini